MATERI 1
TOKOH ANTAGONIS, PROTAGONIS DAN TRITAGONIS
Setiap cerita pasti
memiliki unsur tokoh di dalamnya. Tokoh tidak hanya sebatas peran yang
dimainkan manusia. Dalam cerita, tokoh dapat berupa hewan, benda, atau
karaketer apapun yang mewakili jalannya sebuah cerita.
Tokoh dapat berupa kata
ganti penunjuk orang, seperti aku, kamu, dia, mereka, dan sebagainya.
Penggunaan kata ganti semacam ini memperjelas sudut pandang penceritaan.
Menurut Andi Wicaksono dalam Pengkajian Prosa Fiksi (2017), tokoh adalah pelaku
cerita, sedangkan penokohan adalah sifat yang dilekatkan pada diri tokoh,
penggambaran, atau pelukisan mengenai tokoh cerita.
Sementara, Burhan Nurgiyatoro dalam Teori
Pengkajian Fiksi (1998) berpendapat, tokoh cerita menempati posisi strategis
sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja
ingin disampaikan pada pembaca. Jika dilihat dari fungsi penampilan, tokoh
dibedakan ke dalam protagonis, antagonis, dan tirtagonis.
Protagonis
Protagonis merupakan
tokoh yang menampilkan sesuatu sesuai pandangan dan harapan pembaca.
Menggambarkan watak yang baik dan positif. Tokoh protagonis dapat menyita
empati dan perhatian pembaca.
Antagonis
Antagonis menjadi salah
satu tokoh yang menimbulkan konflik dalam cerita. Ia merupakan penggambaran
watak yang buruk dan negatif. Biasanya dibeci pembaca. Namun dalam beberapa
cerita, pengarang juga memberikan porsi cukup banyak pada tokoh antagonis
sehingga menyita perhatian pembaca.
Tritagonis
Tritagonis disebut juga
karakter ketiga atau penengah. Menggambarkan watak yang bijak. Berfungsi
sebagai pendamai atau jembatan atas penyelesaian konflik. Biasanya muncul
sebagai tokoh yang menyelesaikan permasalahan dalam sebuah cerita.
Figuran
Figuran merupakan tokoh
atau peran yang kurang berarti dalam penceritaan. Figuran disebut juga peran
pembantu. Berbeda dari penggolongan tiga tokoh sebelumnya, figuran digolongkan
ke dalam jenis tokoh berdasarkan tingkat pentingnya peran.
Bacalah cerita berikut! (LKS Hal. 26-27)
ASAL MULA RAWA PENING
Tersebutlah sebuah desa bernama Pathok. Desa ini sangat makmur, namun sayang penduduk desa ini sangat angkuh. Suatu ketika, penduduk Desa Pathok bermaksud mengadakan merti dusun (bersih desa), yaitu pesta sedekah bumi setelah panen. Untuk memeriahkan pesta, akan digelar berbagai pertunjukan seni dan tari. Berbagai makanan lezat pun akan disajikan sebagai hidangan bersama dan jamuan untuk para tamu undangan. Untuk itulah, para warga beramai-ramai berburu binatang di Bukit Tugur.
Sudah hampir seharian mereka berburu, namun belum satu pun binatang yang tertangkap. Ketika hendak kembali ke desa, tiba-tiba mereka melihat seekor naga sedang bertapa. Naga ini tak lain adalah Baru Klinthing. Mereka pun beramai-ramai menangkap dan memotong-motong daging naga itu lalu membawanya pulang. Setiba di desa, daging naga itu mereka masak untuk dijadikan hidangan dalam pesta.
Ketika para warga sedang asyik berpesta, datanglah seorang anak laki-laki yang tubuhnya penuh dengan luka sehingga menimbulkan bau amis. Rupanya, anak laki-laki itu adalah penjelmaan Baru Klinthing. Oleh karena lapar, Baru Klinthing pun ikut bergabung dalam keramaian itu. Saat ia meminta makanan kepada warga, tak satu pun yang mau memberi makan. Mereka justru memaki-maki, bahkan mengusirnya.
“Hai, pengemis. Cepat pergi dari sini!” usir para warga, “Tubuhmu bau amis sekali.”
Sungguh malang nasib Baru Klinthing. Dengan perut keroncongan, ia pun berjalan sempoyongan hendak meninggalkan desa. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang janda tua bernama Nyi Latung.
“Hai, anak muda. Kenapa kamu tidak ikut berpesta?” tanya Nyi Latung.
“Semua orang menolak kehadiranku di pesta itu. Mereka jijik melihat tubuhku,” jawab Baru Klinthing, “Padahal, saya lapar sekali.”
Nyi Latung yang baik hati itu pun mengajak Baru Klinthing ke rumahnya. Nenek itu segera menghidangkan makanan lezat.
“Terima kasih, Nek,” ucap Baru Klinthing, “Ternyata masih ada warga yang baik hati di desa ini.”
“Iya, cucuku. Semua warga di sini memiliki sifat angkuh. Mereka pun tidak mengundang Nenek ke pesta karena jijik melihatku,” ungkap Nyi Latung.
“Kalau, begitu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Baru Klinthing. “Jika nanti Nenek mendengar suara gemuruh, segeralah siapkan lesung kayu (lumpang: alat menumbuk padi)!”
Baru Klinthing kembali ke pesta dengan membawa sebatang lidi. Setiba di tengah keramaian, ia menancapkan lidi itu ke tanah.
“Wahai, kalian semua. Jika kalian merasa hebat, cabutlah lidi yang kutancapkan ini!” tantang Baru Klinthing.
Merasa diremehkan, warga pun beramai-ramai hendak mencabut lidi itu. Mula-mula, para anak kecil disuruh mencabutnya, tapi tak seorang pun yang berhasil. Ketika giliran para kaum perempuan, semuanya tetap saja gagal. Akhirnya, kaum laki-laki yang dianggap kuat pun maju satu persatu. Namun, tak seorang pun dari mereka yang mampu mencabut lidi tersebut.
“Ah, kalian semua payah. Mencabut lidi saja tidak bisa,” kata Baru Klinthing.
Baru Klinthing segera mencabut lidi itu. Karena kesaktiannya, ia pun mampu mencabut lidi itu dengan mudahnya. Begitu lidi itu tercabut, suara gemuruh pun menggentarkan seluruh isi desa. Beberapa saat kemudian, air menyembur keluar dari bekas tancapan lidi itu. Semakin lama semburan air semakin besar sehingga terjadilah banjir besar. Semua penduduk kalang kabut hendak menyelamatkan diri. Namun, usaha mereka sudah terlambat karena banjir telah menenggelamkan mereka. Seketika, desa itu pun berubah menjadi rawa atau danau, yang kini dikenal dengan Rawa Pening.
Sementara itu, usai mencabut lidi, Baru Klinthing segera berlari menemui Nyi Latung yang sudah menunggu di atas lesung yang berfungsi sebagai perahu. Maka, selamatlah ia bersama nenek itu. Setelah peristiwa itu, Baru Klinthing kembali menjadi naga untuk menjaga Rawa Pening.
TUGAS 1
Jawablah pertanyaan di bawah ini!
1. Jelaskan pengertian tokoh antagonis, protagonis dan Tritagonis!
2. Cerita di atas termasuk dalam cerita apa? Jelaskan alasanmu!
3. Siapa tokoh utama di atas?
4. Sebutkan tokoh protagonis dalam cerita di atas!
5. Siapa tokoh antagonis dalam cerita tersebut!
MATERI 2
Nyanyikan Lagu Berikut!
Modul LKS hal. 28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar